Kepresidenan G20: Indonesia Mendukung Transisi Energi

Selama kepresidenan G20, Indonesia akan mendesak dukungan untuk transisi energi.

Transisi energi akan menjadi topik diskusi dalam konferensi Sherpa G20, yang akan menjadi aksi pertama di bawah kepresidenan Indonesia.

Sherpa Track akan memiliki 11 kelompok kerja dan satu inisiatif, dengan pertemuan perdana dijadwalkan pada 7-8 Desember 2021, menurut Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di Jakarta pada 26 November 2021.

Bagi banyak negara berkembang, seperti Indonesia, transisi energi hijau sangat penting, karena negara tersebut telah menyatakan komitmennya untuk membantu pencapaian tujuan Perjanjian Paris dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.

Negara ini telah berkomitmen untuk memenuhi Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDC) dengan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% dalam skenario bisnis seperti biasa dan 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030.

Indonesia, pada kenyataannya, telah mengembangkan peta jalan untuk transisi energinya, dengan tujuan mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060, menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif.

Untuk memenuhi tujuan tersebut, ia memiliki kebijakan terperinci yang mencakup pengembangan energi baru dan terbarukan dalam skala besar, serta penghentian bertahap fasilitas pembangkit listrik berbahan bakar fosil berdasarkan usianya, katanya.

Selain itu, mulai tahun 2031, pemerintah akan mengoptimalkan penggunaan pump storage, battery energy storage system (BESS), dan hydrogen fuel cell secara bertahap, ujarnya.

Itu juga akan mempertimbangkan opsi pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir pada tahun 2045, dengan tujuan meningkatkan kapasitas menjadi 35 gigawatt pada tahun 2060, katanya.

Ini juga akan meningkatkan ketergantungan jaringan dengan membangun tautan intra dan antar pulau serta menerapkan smart grid dan smart meter, menurutnya.

“Kami juga akan mendorong penggunaan kendaraan listrik, dengan tujuan mengakhiri penjualan sepeda motor dan mobil tradisional pada tahun 2040 dan menyediakan moda angkutan umum yang luas pada tahun 2050,” kata menteri.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan pada 20 November 2021 bahwa transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan tidak bisa lagi ditunda.

Dia meminta PT Pertamina, Badan Usaha Milik Negara Migas, dan PT PLN, Badan Usaha Milik Negara, memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk memperkuat kerangka transisi energi.

Menurut dia, batu bara merupakan penyuplai terbesar pasokan energi negara, yakni sebesar 67%, disusul bahan bakar fosil (15%) dan gas (8%). Menurut dia, pemerintah berencana beralih ke energi hijau dengan membangun tambahan pembangkit listrik tenaga panas bumi, surya, air, dan angin.

Ia mencontohkan Indonesia memiliki ribuan sungai besar dan kecil yang dapat digunakan untuk membantu pembangunan pembangkit listrik tenaga air, namun hal ini membutuhkan dana yang cukup besar.

Menurut Jokowi, ada harga yang harus dibayar untuk memungkinkan transisi energi global ke energi baru dan terbarukan seiring dengan kenaikan biaya energi. Dia mencatat bahwa negara tidak mungkin menutupi disparitas harga atau menyebarkannya ke masyarakat umum.

Dia menyatakan akan menginformasikan kepada para pemimpin G20 tentang perlunya dana transisi energi pada KTT G20 di Bali tahun depan.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, transisi energi merupakan salah satu proyek percontohan yang akan ditunjukkan Indonesia saat menjadi tuan rumah kepresidenan G20.

“Transisi energi menjadi test case atau mercusuar. Kita perlu menyusun rencana untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batubara (PLTU)” Pada 18 November 2021, Hartarto memberikan sambutan.

Indonesia, menurut Hartarto, membutuhkan uang premi untuk pensiun dini PLTU, yang kini sedang ditangani Asian Development Bank (ADB).

“Saat PLTU dipensiunkan dan uang masuk, itu menggantikan Internal Rate of Return (IRR) yang tersisa,” ujarnya seraya mencatat bahwa energi merupakan input terpenting bagi Indonesia.

 

Asian Development Bank (ADB) dan PT PLN sebelumnya telah menandatangani nota kesepahaman untuk mendukung upaya Indonesia mencapai target energi bersih pada 3 November 2021.

“Kami senang dapat bekerja sama dengan PLN untuk membantu Indonesia melakukan transisi kritis dari energi berbasis karbon ke energi bersih,” kata Ahmed M. Saeed, wakil presiden Bank Pembangunan Asia.

MoU tersebut ditandatangani di sela-sela Konferensi Para Pihak Perubahan Iklim PBB ke-26 (COP26)  di Glasgow, Skotlandia, oleh Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini dan Direktur Jenderal ADB untuk Asia Tenggara Ramesh Subramaniam.

Pada 24 November 2021, Kepala PLN Zulkifli Zaini, Basilio Dias Araujo dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Duta Besar Prancis untuk Indonesia Olivier Chambard, dan Country Director Agence Francaise de Development (AFD), Emmanuel Baudran menandatangani Letter of Intent (LoI). ) tentang kerja sama percepatan transisi energi Indonesia.

Letter of intent menyangkut komitmen pemerintah Prancis untuk menghabiskan 520 juta euro (sekitar Rp8,3 triliun) untuk membantu Indonesia mempercepat transisi energi hijaunya.

Menteri BUMN Erick Thohir memuji kerja sama BUMN dengan banyak pemangku kepentingan, antara lain kerja sama PLN dengan Asian Development Bank dan kerja sama PLN dengan African Development Bank.

Dia melihat kolaborasi ini sebagai langkah pertama menuju transisi yang adil dan terjangkau ke jalur pembangunan yang netral karbon.

“Seluruh BUMN mendukung transisi Indonesia ke net-zero emisi karena akan bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan,” kata Thohir.